Bandar Udara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan
Dengan lokasi bandar udara di tengah permukiman padat penduduk, pendaratan di bandar udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman cukup menegangkan bagi penumpang maupun pilot.Bandar Udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman dituntut warga Sepinggan dan DPRD Balikpapan karena tingkat kebisingan yang tinggi. Studi Universitas Indonesia menyatakan kebisingan Bandar Udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, mengakibatkan 9% penduduk Sepinggan dan Gunung Bahagia menderita ketulian dan sulit berkomunikasi. Mayoritas mengalami sulit tidur, berkomunikasi dan pendengaran. Seluruh responden warga Sepinggan dan Gunung Bahagia merasa terganggu dan tidak nyaman.
Sejarah
Pembangunan bandar udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda sebelum waktu kemerdekaan Indonesia. Itu digunakan terutama untuk kegiatan perusahaan minyak Belanda di daerah Balikpapan. Bandara ini menjadi bandara publik dan komersial setelah pengelolaannya diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Republik Indonesia pada tahun 1960. Bandar udara ini akhirnya dikelola oleh Perum Angkasa Pura I (sekarang PT Angkasa Pura I) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 pada tanggal 9 Januari 1987.
Bandar udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman telah direnovasi dua kali selama 1991 sampai 1997. Fase pertama dimulai pada tahun 1991 dan berakhir pada tahun 1994, untuk merenovasi taxy way, terminal penumpang dan kargo dan juga memperpanjang landasan pacu. Pada tahun 1995, pemerintah Indonesia mengumumkan bandar udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman sebagai bandara kelima Indonesia embarkasi haji untuk kalimantan (Borneo) wilayah yang juga terdiri dari provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Fase kedua renovasi terjadi pada tahun 1996 untuk merenovasi hanggar, depot bahan bakar, dan gedung administrasi. Fase kedua selesai dan bandara akhirnya mulai era baru operasionalnya dengan bangunan baru dan fasilitas pada tahun 1997.